KESURUPAN (5)
Author: @paizinpalmap di Wattpad
PERHATIAN: (Sebelum Membaca Artikel Ini)
Kalau kamu belum membaca bagian(chapter) sebelumnya,
silahkan baca di: Kesurupan (chapter 1)/ Kesurupan (chapter 2)/ Kesurupan(chapter 3)/ Kesurupan (chapter 4) .
Ok, happy reading guys!! ^-^
#CHAPTER 5
![]() |
kesurupan part 5/wattpad/paizinpalmap |
Sektor Enam Belas
DONI senang dengan fakta bahwa Rina bukan cewek yang gampang
menyerah. Meski berkali-kali ditolak, dia masih berusaha mengajak Andi ikut
serta dalam rencananya. Jarang ada cewek dengan sifat tekun, gigih, serta ulet
sekaligus. Rina punya segala kualifikasi yang dimiliki
salesman.
Pada mulanya Rina memohon kepada Andi pada waktu-waktu
tertentu, misalnya sewaktu jam istirahat, sepulang sekolah, atau pagi hari
sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Namun dua minggu mengalami penolakan
secara beruntun memaksanya bertindak tak mengenal tempat ataupun waktu.
Contohnya ketika suatu waktu di tengah pelajaran bahasa Indonesia.
"Jadi ada yang tau salah satu contoh kalimat
ajakan?"
Rina tiba-tiba nimbrung, dan dengan tergesa-gesa berseru,
"Jadi gimana? Lo mau kan bantuin gue?"
Atau pernah suatu waktu ketika Andi di dalam WC dan dengan
polos Rina berkata, "Bantuin gue dong..."
Atau pada suatu waktu di kantin, ketika di tengah berjubel
murid yang mengantri Rina berlutut, matanya menatap Andi—suasana tiba-tiba
mencekam bagi Doni—dan berkata, "Will you help me? Please say yes..."
"No. "
Tak ingin Rina melangkah lebih jauh, maka Doni turut serta
dalam usaha membujuk Andi. Selama berhari-hari dia memikirkan cara paling ampuh
untuk membujuk Andi agar mau membantu Rina. Tapi perenungan berhari-hari
ternyata tak menghasilkan apa-apa. Dia hanya bisa melontarkan pertanyaan,
"Kenapa sih lo gak mau bantuin Rina?"
"Kenapa gue harus mau bantuin Rina," Andi balik
bertanya.
Tanpa sempat berpikir, terlintas begitu saja, Doni berkata,
"Lo sadar gak kalau Rina orang pertama yang mau temenan sama kita?"
Andi terdiam sejenak, lalu dalam diam mengangguk setuju.
Dalam hati Doni berteriak, "YES !"
*****
Maka sesaat setelah mata pelajaran terakhir selesai, Doni
buru-buru mengajak Andi untuk menemui Rina. Namun, rupanya Rina sudah ada di
pintu kelas, berlutut untuk yang kedua kalinya, menatap Andi dan berkata,
"Will you help me? Please say yes..."
"I... will..." kata Doni terpesona. "Andi mau
bantuin lo."
"Kok bisa?" ucap Rina heran.
Jadi setelah menceritakan kejadiannya ketika mereka di
kantin, percakapan selanjutnya adalah rincian rencana dan persiapan apa saja
yang dibutuhkan.
"Gue sudah dapet pengganti Mbah Sugeng. Jadi kita
tinggal nentuin kapan dan di mana tempat yang jadi tujuan kita," Rina
menjelaskan. "Tapi gue lupa bawa catatan gue. Ketinggalan di rumah."
"Lo gak masalah deket-deket sama kami, terutama sama
gue?" tanya Andi.
"Emangnya kenapa?"
"Lo gak takut nanti dijauhin sama murid-murid yang
lain?"
"Enggak tuh..."
"Lo yakin?"
"Hai, Rina," sapa anak laki-laki dengan wajah
berminyak.
"Hai juga..."
"Franco," kata anak laki-laki dengan wajah
berminyak. "Sendirian aja?"
"Enggak kok—ini ada Doni sama Andi."
"Oh... dah, Rina."
Anak laki-laki dengan wajah berminyak, dengan wajah yang
bisa lengket di amplop kayak perangko, pergi.
"Kalian ada kegiatan setelah ini?" tanya Rina.
Doni dan Andi menggeleng.
*****
"Kita di sini aja. Ini tempat favorit gue
soalnya," kata Rina.
Rina membawa Doni dan Andi ke perpustakaan di rumahnya. Di
sana buku-buku berdesakkan. Judulnya pun bermacam-macam, mulai dari yang
gampang seperti Kiat Sukses Meraih Cita-Cita, ada yang dalam bahasa Inggris
seperti Rich Dad, Poor Dad, sampai dengan judul dalam bahasa Cina, India,
Vietnam, dan sebagian lainnya yang dicurigai dalam bahasa alien. Dan Doni, yang
saat ini menyentuh buku yang judulnya berwarna emas, semakin terpesona.
"Gue suka cewek berwawasan luas..."
"Buku bacaan gue bukan di sana, tapi di sini,"
ujar Rina, menunjuk ke sudut kecil, berdebu, dan suram.
Doni pindah ke sudut yang ditunjuk Rina. Kali ini judul
buku-buku yang dia temukan agak aneh, seperti Diskriminasi dalam Sudut Pandang
Pocong. Isinya mengenai psikologis pocong dan permasalahan sosialnya. Atau ada juga
buku dengan muatan ekonomi, judulnya Budidaya Tuyul sebagai Pendukung Devisa
Negara. Di sampul bagian belakangnya Doni menemukan komentar dari pakar ekonomi
nasional: Buku ini harus menjadi pegangan wajib bagi mereka yang frustrasi pada
laju ekonomi negara. Merdeka! Merdeka! Merdeka!
"Yah... paling enggak dia suka membaca," gumam
Doni.
"Ehem... oke... kita mulai sekarang. Jadi, berdasarkan
jumlah penampakan yang muncul, sekolah kita dibagi dua puluh tiga sektor yang
dikuasai masing-masing makhluk halus." Rina membuka buku catatannya. Di
dalamnya ada denah sekolah dan garis pembatas wilayah-wilayah. Di dalam
masing-masing wilayah ada tulisan kecil-kecil, semacam penjelasan lebih rinci
wilayah tersebut. "Jadi..."
"Tunggu dulu!" potong Andi.
"Penampakan?"
"Iya... emangnya kenapa?" kata Rina.
"Tau gak sih penampakan artinya apa?" Rina
menggeleng bingung. Lalu dengan enggan Andi berkata, "Artinya seram! Muka
mereka pasti banyak yang ancur!"
"Enggak kok! Sebagian ada yang mukanya baik-baik aja,
cuma badannya yang ancur!"
Doni menelan ludah. Ini jelas bukan sebagaimana lazimnya
percakapan antara remaja tanggung.
Rina, yang sadar bahwa ucapannya malah membuat suasana makin
suram, berkata, "Tenang... kalau gitu sektor pertama yang kita datangi
yaitu Sektor Enam Belas. Penguasanya mbak-mbak... muka sama badannya masih utuh
kok!"
"Mbak-mbak? Bisa ceritain lebih rinci gak?" tanya
Andi bimbang.
"Gak bisa. Informasinya sedikit," jawab Rina,
tangannya menunjuk tulisan kecil-kecil di dalam buku catatannya. "Maka
dari itu sekarang kita siapin daftar pertanyaan buat mbak-mbak itu nanti."
"Contohnya apa?" tanya Doni, pura-pura ingin
penasaran.
"Misalnya kayak: Apakah jumlah kebohongan seseorang
berbanding lurus dengan jumlah penampakan yang dialaminya?" kata Rina.
"Gimana kalau: Apa pendapat Anda terhadap reaksi
orang-orang yang melihat Anda?" ujar Doni.
"Ya, bagus... pertanyaan yang cukup sensitif
sebenarnya, tapi oke."
"Kalau begini: Apakah kalian masih waras?" ujar
Andi. Dia agak cemas sekarang.
"Kapan kita ke Sektor Enam Belas?" tanya Doni,
berusaha mengalihkan topik pembicaraan ketika Rina agak jengkel.
"Kita akan menyusup nanti malam," kata Rina
mantap.
*****
Penyusupan berjalan lancar. Untunglah penjagaannya tak
seketat
skinny jeans Doni. Dengan mudah mereka segera melewati
gerbang sekolah. Kebetulan saat itu penjaga sekolah sedang tidur.
Doni berjalan dengan hati-hati. Dia hampir selalu menoleh ke
belakang setiap dua langkah, menoleh ke kiri setiap tiga langkah, dan menoleh
ke kanan setiap empat langkah. Andi, yang berada paling depan, yakin bahwa Doni
lagi sakit leher sementara Rina punya pendapat lain: Doni pasti lagi Senam
Kesehatan Jasmani.
Akhirnya mereka bertiga tiba di Sektor Enam Belas. Ternyata
letaknya berada di koridor di sekitar ruang kepala sekolah. Doni agak kesusahan
sewaktu mengeluarkan kertas daftar pertanyaan dari saku
skinny jeans -nya. Dia membaca ulang beberapa pertanyaan,
"Ehem... nama Mbak siapa? Kenapa bisa tinggal di sini?"
"Bagus... suara lo terdengar sopan," Rina menilai.
"Sekarang kita tinggal berharap semoga keberadaan Andi menarik perhatian
penguasa area ini. 'Semoga gue kesurupan'."
Mendengar kalimat terakhir Rina yang bernada penuh harap,
Doni, dengan sepenuh hati dan semangat menggebu-gebu, berteriak, "HALO,
MBAK-MBAK! HALO, MBAK-MBAK MUDA!"
"Shhh!" desis Andi. "Nanti penjaga sekolah
bangun!"
Doni mendadak terbelalak.
"Ada apa? Lo lihat sesuatu?" tanya Rina penasaran.
Doni tak menjawab. Barusan dia melihat sekelebat bayangan
putih. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa tadi cuma salah lihat. Mungkin
tadi cuma karena faktor pencahayaan.
"Ngomong aja," kata Rina kepada Doni.
Namun bukan Doni yang selanjutnya berkata, melainkan Andi.
Wajahnya pucat. Seraya menunjuk ke samping, suara cemprengnya terdengar,
"Sekarang gue paham kenapa sektor ini penguasanya disebut mbak-mbak. Tadi
gue lihat kuntilanak."
"G-g-gue su-dah tau," kata Doni gemetar.
"Kok bisa?" tanya Andi, penasaran sekaligus
waswas.
"Dia ada di belakang lo sekarang," sahut Rina.
"Agak seram ternyata..."
Leher Andi tiba-tiba kaku. Dia tak berani menoleh ke
belakang. Dan yang selanjutnya terjadi adalah teriakan dan makian. Semuanya
kacau, dan Doni sempat melempar kertas daftar pertanyaannya. Tanya-jawab dengan
kuntilanak jelas bukan ide brilian.
"Tunggu sebentar! Dia ada di belakang gue sekarang,"
kata Andi, dengan ekspresi yang kurang sesuai—dia tersenyum. "Mbak-mbak
Sektor Enam Belas di belakang gue..."
Doni agak bingung sekaligus takut sekarang. Apakah dilanda
ketakutan bisa menghilangkan kewarasan seseorang?
"Don, lo sadar gak kalau gue gak kesurupan?" kata
Andi. "Padahal ada makhluk kayak gini di belakang gue."
"Eh, bener juga tuh!" Rina membenarkan.
"Ini bukan saatnya untuk..."
"Gue normal, Don!" seru Andi sambil
mengguncang-guncang bahu Doni. "Gue gak gampang kesurupan sekarang!"
"Kita harus lari dari..."
"Gue normal, Don!"
Beberapa saat kemudian mereka saling berpelukan sambil
berlari menyamping, seakan ada api unggun di tengah mereka. Dan Doni terjebak
dalam situasi di mana dia bahkan tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
"Gue gak kesurupan, Don!"
"Dia normal," kata Rina.
"Kuntilanak-nya sekarang di tengah-tengah kita!"
bentak Doni.
"Bukan masalah gue," jawab Andi.
"Dia normal," kata Rina.
Doni pingsan.
********** tunggu Update-an Chapter 6 Selanjutnya (FINISH)
***********
Daftar isi :
Kesurupan (chapter 6)-(Chapter terAkhir/Finish)---- (segera )
Quote : "Mungkin karena kau membiarkan orang itu singgah terlalu
lama di hatimu, itulah mengapa kau merasa terluka."
*buat yang gak mau ketinggalan cerita lainnya, yuk ikuti
Fanpage/halaman facebook kami 'Dreaming Galaxy ID''. Cukup kalian
klik-ini. Okray! :D
Thank's for reading this article... ^_^
0 Komentar